Sejarah Singkat Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966)


Supersemar Versi Orde Baru
Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang sangat populer dikenal melalui akronim "Supersemar" adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno pada tanggal 11 Maret 1966. Isinya adalah perintah Presiden Sukarno kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan stabilitas situasi keamanan yang sangat buruk pada masa itu, terutama setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Hingga saat ini, naskah Supersemar yang menyebar di kalangan masyarakat secara luas melalui buku-buku teks pelajaran sejarah nasional adalah keluaran versi Markas Besar TNI Angkatan Darat (TNI AD) yang telah dipublikasikan sejak tahun 1966 dan semakin diperkuat setelah Orde Baru mulai berkuasa di tahun 1968. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia meyakini bahwa ada beberapa versi naskah Supersemar, sehingga masih perlu adanya penelusuran dan penelitian terhadap naskah Supersemar yang asli yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno di Istana Bogor. Sampai saat ini pun, naskah Supersemar yang asli masih misterius dan belum ditemukan, karena para pelaku sejarah lahirnya Supersemar semuanya telah meninggal dunia.


Presiden Sukarno Melantik Letnan Jenderal Suharto Sebagai Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat
Sejarah Lahirnya Supersemar

Menurut versi resmi yang disetujui oleh pemerintahan rezim Orde Baru pimpinan Presiden Suharto, sejarah awal lahirnya Supersemar terjadi pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno mengadakan sidang pelantikan "Kabinet Dwikora yang Disempurnakan", yang juga dikenal dengan istilah "Kabinet Seratus Menteri", karena jumlah menterinya mencapai lebih dari 100 orang. Pada saat sidang kabinet dimulai, Brigadir Jenderal Sabur sebagai Panglima Tjakrabirawa (pasukan khusus pengawal Presiden Sukarno) melaporkan bahwa banyak 'pasukan liar' atau 'pasukan tak dikenal' yang belakangan diketahui adalah pasukan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang di kabinet yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Salah satu anggota kabinet tersebut adalah Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio.

Pelantikan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Oleh Presiden Sukarno

Setelah mendengarkan laporan tersebut, Presiden Sukarno bersama Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh langsung berangkat menuju Bogor menggunakan helikopter yang telah disiapkan. Sidang kabinet itu sendiri akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang juga kemudian ikut menyusul ke Bogor.

Situasi tersebut dilaporkan kepada Letnan Jenderal Suharto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Konon, Letnan Jenderal Suharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Suharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai skenario Pak Harto untuk 'menunggu situasi', karena cukup janggal.

Malam harinya, Letnan Jenderal Suharto mengutus tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno, yaitu Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Brigandir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Basuki Rachmat. Setibanya di Istana Bogor, terjadi dialog antara tiga perwira tinggi AD tersebut dengan Presiden Sukarno mengenai situasi yang terjadi. Ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Letnan Jenderal Suharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan stabilitas keamanan nasional apabila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil tindakan.

Brigjen. Muhammad Jusuf, Brigjen. Basuki Rachmat, dan Brigjen. Amir Machmud

Menurut Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Sukarno berlangsung hingga pukul 20.30 WIB malam. Akhirnya, Presiden Sukarno setuju terhadap usulan tersebut sehingga dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima TNI Angkatan Darat agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Ilustrasi Presiden Sukarno Menandatangani Supersemar Versi Rezim Orde Baru

Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 dini hari pukul 01.00 WIB yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI AD Brigadir Jenderal Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, di mana saat itu ia menerima telepon dari Mayor Jenderal Sutjipto selaku Ketua G-5 KOTI pada tanggal 11 Maret 1966 sekitar pukul 22.00 WIB malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib Letnan Jenderal Suharto. Bahkan, Sudharmono sempat berdebat dengan Murdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentarnya,

Pages