BAB I
PENDAHULUAN
Kekayaan budaya Indonesia tersebar dari
Sabang sampai Merauke, di berbagai wilayah dengan kecirian masing-masing daerah
menjadikan Indonesia negara dengan etnik beragam, di antaranya adalah Suku
Baduy yang berada di wilayah Banten, Jawa Barat. Keunikan suku ini adalah
keinginan untuk tetap mempertahankan adat dan tradisi warisan leluhur tanpa
terkontaminasi budaya dari luar wilayah tersebut. Prinsip hidup masyarakat
Baduy sangat menghargai alam. Dengan sikap, tersebut mereka dapat hidup
berdapingan dengan alam secara damai. Secara umum sikap mempertahankan tradisi
ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu: yang masih mempertahan adat sama dengan
nenek moyangnya disebut masyarakat Baduy Dalam dan yang sudah dapat menerima
berbagai hal yang terjadi di luar suku Baduy disebut masyarakat Baduy Luar.
Meski demikian, hubungan antar keduanya terjalin dengan harmonis. Keaslian yang
terus terpelihara ditengah-tengah kemajuan teknologi informasi yang berkembang
begitu pesat, membuat suku Baduy terlihat istimewa. Gambaran arsitektur
tradisional masyarakat asli Indonesia yang tergolong sudah langka dapat dilihat
pada suku ini.
BAB II
TOPOLOGI BANGUNAN
Rumah
adat Baduy merupakan rumah panggung yang hampir keseluruhan bahannya menggunakan
bahan bambu. Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti
tinggi rendahnya permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata
permukaannya, bangunan diganjal menggunakan tumpukan batu. Batu yang digunakan
adalah batu kali, berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar
tanah tidak longsor.
Gambar
2.1 Denah Rumah Baduy
|
Ada
tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan
untuk ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah,
ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang makan yang disebut tepas,
dan ruang untuk menerima tamu yang disebut sosoro.
Seluruh
bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah Baduy
hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
BAB
III
KEARIFAN LOKAL
KEARIFAN LOKAL
Pada
umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman mengandalkan naluri, termasuk
dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya. Banyak teknik
atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi cukup “tinggi” dan mampu
memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.
Kecenderungan
tersebut diperlihatkan secara jelas pada arsitektur suku Baduy Dalam. Bentuk
dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun berdasarkan
naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari gangguan alam
dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan bangunannya.
Seluruh
bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-selatan dan saling
berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan
adat. Di samping itu, mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah
keadaan lahannya.
Sebaliknya,
mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan
yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-bangunan
tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak
mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.
Gambar 3.1 Bentuk Rumah
Suku Baduy
|
Konstruksi
utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tiang dipasang
dengan cara dipasak karena alat paku dilarang digunakan. Justru teknik tersebut
bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan lebih menyatu, terutama
ketika kedua kayunya sudah mengering.
Sementara
komponen seperti dinding, atap,
dan lantai hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu . Oleh karena
itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa
karena bangunannya bersifat fleksibel dan elastis.
Bangunan
rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti
kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian
berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya
relatif rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi.
Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar kedudukannya
stabil.
Batu
kali merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku
Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan
sebagi penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk
benteng, atau dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat
berjalan yang sangat berguna terutama jika musim hujan tiba.
Jenis
atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah
posisi atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya
tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis atap sulah
nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak.
Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua
sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut
curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki
kemiringan yang rendah.
Rumah
tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan sejenis
daun pintu yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu
jari dan dianyam secara vertikal. Orang Baduy tidak mengenal ukuran seperti
halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak pernah tahu ukuran luas
maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya
dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Lebar pintu diukur selebar ukuran
alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika
ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk
mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari
samping luar bangunan.
Tampaknya
bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah karena
ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai
dapur, imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta
istrinya.
Mereka
tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas
tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan
disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat
fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk
menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.
Secara
garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau
bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh
kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah,
seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk
menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala keluarga.
Melalui
kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat
menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang
100-120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang
seluruh komponennya.
BAB
IV
KESIMPULAN
Kesadaran masyarakat Baduy yang sangat
menghargai alara sebagai tempat mereka menyandarkan hidup patut menjadi
tauladan bagi masyarakat luas, terutama yang mengaku sebagai masyarakat modern
yang menganggap alam sebagai alat bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Bentuk
lingkungan dan bangunan dibuat berdasarkan adat, yang sampai saat ini masih
dipertahankan. Ekspresi atau penampilan bangunan sederhana, adalah sesuai
dengan pola hidup masyarakatnya yang sederhana. Tata ruang interior sederhana,
tidak menggunakan perabot. Bahan bangunan menggunakan bahan lokal yang didapat
disekitarnya, seperti kayu, bambu dan batu. Struktur menggunakan teknologi
sederhana sesuai dengan keahlian masyarakat. Bangunan suku Baduy merupakan
suatu contoh bangunan sederhana yang sangat mempertimbangkan faktor lingkungan,
baik secara menyeluruh dalam satu lingkungan maupun setiap unit bangunannya.
5.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/rumah-berkonsep-aturan-adat-khas-suku-baduy pada
22 Maret 2015 pukul 22.47
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1230/rumah-adat-baduy
pada 22 Maret 2015 pukul 23.12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentarnya,