Dunia Yang Berputar By: Faisal Amirul Firdaus



            Gelap, sepi, kotor, dan lembab, disanalah Budi lahir, sebuah gubuk kecil yang hina. Budi adalah anak pertama dari keluarga yang amat miskin. Ayahnya tidak bekerja lagi karena sudah tua dan sakit-sakitan. Ibunya telah meninggal ketika Budi berumur sepuluh tahun.

Kini budi berumur lima belas tahun. Ia sudah lama berhenti sekolah dan kini ia bekerja sebagai pemulung untuk membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Ia memulung dari pagi hingga siang hari. Sorenya ia mengurus adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Dan pagi itu ia memulung seperti biasa. Sinar pagi memberinya semangat untuk bekerja pagi itu. Dengan pasti Ia melangkah keluar rumah, dan....

“Kak, rantangnya ketinggalan,” kata Ratih, adik perempuannya yang kini duduk di  kelas lima SD.
“O, iya kakak lupa,” kata Budi sambil nyengir.
“Kakak ini bagaimana sih, kok lupa terus.”
“Iya, iya, bawel ah….” kata Budi dengan halus.
Wajah Ratih berubah menjadi cemberut karena dikatai Budi.
“Dadah nenek sihir,” ejek Budi.
“Uuuuh….” umpat Ratih.
Budi keluar rumah dengan terbahak-bahak setelah melihat tingkah laku adiknya itu.

            Selama perjalanan ketempat memulung, yaitu tempat pembuangan akhir sampah (TPA), ia memandangi rantang yang dibawanya. Setiap melihat rantang itu ia teingat dengan ibunya yang telah meninggal lima tahun yang lalu.

            Tes…. tak sadar air matanya menetes di atas rantangnya. Ia benar-benar teringat dan sangat rindu dengan ibunya. Ibunya meninggal saat Budi berumur sepuluh tahun. Saat itu ia masih sekolah. Ibunya bekerja sebagai pedagang sayur keliling. Pagi itu ia berjanji akan membeli rantang untuk membawa bekal budi ke sekolah. Setelah itu ibunya pamit dan berangkat untuk berjualan.

            Saat itu dagangannya laris. Saat melewati toko peralatan rumah tangga, ia teringat pada Budi yang minta dibelikan rantang. Lalu ia membeli rantang itu di toko yang dilewatinya tersebut. Setelah membeli rantang dengan harga yang cukup murah, ia bergegas pulang ke rumah. Tapi sial, saat ia hendak menyeberangi jalan, ia tertabrak mobil yang melaju kencang. Gerobaknya berantakan. Tubuhnya bersimbah darah. Ia meninggal karena kepalanya terbenetur kuat dengan aspal.

            Budi yang baru mengetahui ibunya meninggal, berteriak histeris. Ayahnya berusaha menenangkannya. Tapi Budi malah tambah menangis. Tiba-tiba mata Budi tertuju pada gerobak ibunya. Ia melihat rantang yang dibelikan ibunya terhimpit sisa-sisa sayur dagangan ibunya. Ia berlari menuju gerobak dan mengambil rantang itu. Ia tambah menangis sambil memeluk erat rantang itu.


            “Hei…!!!” seruan itu mengagetkan Budi. Budi terkejut dan melihat ke belakang. Ternyata itu adalah Udin, temannya yang senasib.
            “Kenapa Melamun?” lanjut Udin.
            “Ng, gak ada, ayo kita mulai bekerja,”
            “Ayo!” ujar Udin dengan semangat.

            Mereka mulai memulung. Mencari barang-barang yang mungkin masih berguna. Tak terasa matahari mulai naik. Budi pamit pada Udin.
            “Din, aku pulang duluan ya,”
            “Ya, sampai bertemu besok.”

Setelah pamit, ia membeli makanan untuk adik dan ayahnya. Sesampainya di rumah, ia disambut oleh adik-adiknya. Budi lalu memberi makanan yang telah dibelinya kepada adik-adiknya. Mereka senang dan makan dengan lahap. Saat adik-adiknya makan, Budi pergi ke kamar ayahnya untuk memberi makan ayahnya. Setelah makan dengan lahapnya, ia berbicara pada Budi.
“Nak, Ayah kasihan melihat kamu, bekerja banting tulang untuk menghidupi keluuargamu. Harusnya kan kamu itu sekolah. Coba Ayah tidak sakit-sakitan, pasti Ayah bisa bekerja.” kata ayahnya.
“Ya, mau bagaimana lagi Yah, lagipula Budi ikhlas kok melakukan semua itu.
“Ayah mau kamu itu menjadi orang yang berguna bagi bangsa, bukan menjadi sampah masyarakat.”
Budi hanya diam mendengar perkataan ayahnya itu. Lalu ia keluar kamar dan meninggalkan ayahnya sendiri.

Keesokan harinya, Budi terlambat bangun karena ketiduran setelah menonton piala dunia di televisi. Kali ini ia benar-benar lupa dengan rantang makanannya. Di tengah pekerjaannya ia baru teringat dengan rantangnya. Ia menyesal karena telah terburu-buru pergi bekerja. Ia meringis kelaparan. Uangnya hanya cukup untuk membeli makanan untuk adik-adik dan ayahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk meminta makan pada orang-orang yang tinggal di perumahan mewah.

Tapi di tengah perjalanan ia berpikir,
“Ah, betapa bodohnya aku, mana mungkin orang kaya mau memberi makan orang miskin sepertiku.”
Namun karena benar-benar lapar, ia akhirnya memintanya juga. Ia mengetuk pintu salah satu rumah mewah tersebut. Setelah itu keluarlah seorang ibu yang berwajah ramah dan baik hati. Namun karena gugup, budi hanya meminta minum.
“Bu, boleh minta air putih?” kata Budi
“ O, ya boleh. Tunggu sebentar ya,” ujar ibu itu dengan ramah. Setelah meunggu agak lama, ibu itu keluar dengan segelas susu. Ibu itu lalu memberikan susu itu pada Budi. Betapa senangnya Budi, yang diminta air putih, yang diberi segelas susu. Setelah meminum susu itu sampai habis, ia pamit dan mengucapkan terima kasih. Budi lalu pergi dengan riang.

Ibu itu memandang iba pada Budi. Ia kasihan melihat anak seperti Budi. Masih kecil namun sudah harus menerima beban hidup. Ibu itu bernama Yeyen. Ia adalah pengusaha kelapa sawit ternama. Ia dikenal sebagai orang yang ramah, baik hati, dan tidak sombong. Ia sering membantu orang yang sedang dalam kesulitan.

Budi sedang menonton televisi di ruang tengah. Saat jeda iklan, ia melihat ada program beasiswa bagi anak-anak yang tak mampu.
“Aku harus mengikuti program ini,” kata Budi dalam hati.

Budi benar-benar mengikuti program beasiswa itu. Ia belajar dengan sungguh-sungguh. Ia ingin membanggakan ayahnya. Akhirnya ia berhasil setelah sekian lama belajar. Ia diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya. Setelah tamat SMA, ia melanjutkan sekolahnya di UI (Universitas Indonesia) jurusan kedokteran. Setelah wisuda, ia bekerja di rumah sakit sebagai dokter spesialis jantung. Semakin lama usahanya semakin maju dan akhinya ia berhasil mendirikan rumah sakit. Ayahnya sangat bangga kepadanya. Nammun nasib Budi berlainan dengan nasib Bu Yeyen. Usaha Bu Yeyen bangkrut karena kebun sawitnya terbakar akibat ada pekerja yang tak sengaja membuang sisa rokok sembarangan. Namun Bu Yeyen menerimanya dengan ikhlas dan ia tak menuntut apa-apa dari pekerja itu. Kini Bu Yeyen tinggal di rumah kecil dan kumuh karena hartanya telah habis. Iapun kini sakit-sakitan

Keadaan Bu Yeyen semakin buruk. Tetangganya lalu membawanya kerumah sakit. Karena tidak memiliki biaya,ia dirawat diruang kelas bangsal. Ketika dokter yang memeriksa Bu Yeyen melihatnya, dokter itu terkejut dan terpaku. Bu Yeyen bingung mengapa dokter itu terkejut.

Tak lama setelah dokter itu pergi, tiba-tiba seorang perawat dating dan memberitahu bahwa Bu Yeyen akan dipindahkan ke ruang Super VIP. Betapa terkejutnya Bu Yeyen. Ia membayangkan biaya yang harus dibayarnya nanti. Setelah beberapa minggu dirawat, Bu Yeyen kembali sehat seperti semula. Tapi ia sangat cemas dengan biaya yang harus dibayarnya. Saat menerima kwitansi di kasir, ia terkejut karena di kwitansi itu terdapat tulisan ‘Telah dibayar lunas dengan segelas susu’.
Bu Yeyen teringat dengan dokter yang memeriksanya saat pertama masuk rumah sakit. Ia lalu bergegas menemui dokter itu. Saat bertemu, keduanya saling memandang. Air mata menetes di pipi mereka.
“Terima kasih nak, bantuannya,” ujar Bu Yeyen
“Harusnya saya yang berterima kasih. Ibu telah baik hati memberikan saya segelas susu. Padahal saya hanya meminta segelas air putih,” kata dokter itu yang ternyata Budi. Mereka lalu berpelukan.
Setelah Budi tahu bahwa Bu Yeyen jatuh miskin, ia memutuskan untuk membawa BuYeyen tinggal di rumahnya yang baru. Bu Yeyen sangat bahagia dengan kehidupannya setelah tinggal di rumah Budi. Budipun senang karena ada BuYeyen yang dapat dianggap sebagai ibunya sendiri.

        Selesai

3 komentar:

  1. Wow ...keren .... salut dach bisa bikin cerpen, terus menulis ya. Semangat ...!!!! ^_^

    BalasHapus
  2. semoga ical dapat mencontoh budi....utk mencapai cita-citanya hrs dg perjuangan.........

    BalasHapus

Terimakasih atas komentarnya,

Pages